Bengkulu
Tanggungjawab Penyidik Polri Dalam Kasus Salah Tangkap

2,259 X dibaca hari ini
BENGKULU, Netralitasnews.com – Bayu Purnomo Saputra.,S.H.,C.Me sangat prihatin atas adanya perbuatan polisi yang melakukan kesalahan dalam penangkapan sehingga merugikan orang lain.
Hal tersebut tentunya dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, meskipun dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak secara eksplisit /tegas mencantumkan ketentuan pidana apa yang dapat dijatuhkan jika seorang perwira polisi telah melakukan kelalaian atau kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dalam kasus salah tangkap ini, jika dilihat dari beberapa kasus yang terjadi, kasus salah tangkap dapat dilihat dalam dua bentuk,
yaitu:
1. Kasus salah tangkap yang terjadi disertai dengan kekerasan atau penganiayaan oleh
penyidik kepolisian.
2. Kasus salah tangkap yang terjadi karena kurangnya alat bukti terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Kasus penangkapan yang tidak sah yang terjadi disertai dengan kekerasan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh penyidik polisi, sebagai aturan dalam cara yang paling umum dalam pembuatan BAP, mengingat seorang polisi membuat laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, pada saat penetapan BAP tersangka terpaksa mengakui perbuatannya karena takut akan terjadi hal hal yang tidak diinginkan seperti kekerasan dan penganiayaan adapun alasan salah menangkap yang dilakukan penyidik polri dapat terjadi karena:
1. Penangkapan tersebut tidak ada alasannya yang sah menurut undang-undang : hal ini dikarenakan penyidik kepolisian dalam hal melakukan penangkapan tanpa memiliki pedoman dan SOP penangkapan menurut undang-undang yang berlaku sehingga kasus salah tangkap dapat terjadi.
2. Keliru menangkap, karena salah mengenai orangnya :kemungkinan besar dalam mengungkap kebenaran suatu kasus penyidik polri tidak cukup profesional dan masih minim dalam pengumpulan barang bukti, hal ini menyebabkan salah dalam menangkap terduga tersangka.
3. Keliru menangkap, karena hukum yang diterapkan ternyata tidak benar berpijak pada proses penyidikan dalam hal penanganan kasus seseorang, penyidik terlalu tergesa-gesa dalam menentukan kasus sehingga tidak berdasar kepada hukum.
Faktor-faktor yang sering menyebabkan terjadinya kasus penangkapan yang tidak adil
karena terjadi karena ketidakcerdikan yang dilakukan oleh polisi dalam melakukan standar
kriminalisasi mulai dari membedakan pelanggaran, mengenali korban, tersangka dan
keterkaitan logisnya. Data tempat kejadian perkara (TKP), pembuktian, dan cara kerja alat tidak mendukung kenyataan, sehingga pilihan pengadilan juga jatuh pada individu yang berada di jalur yang benar. Padahal ini merupakan peraturan pidana yang menyangkut kepentingan banyak orang. Unsur yang terdapat pada kasus salah tangkap harus terlihat dari nernagai sudut pandang, Antara lain:
1. Subyek hukum yang sah dalam pandangan hukum pidana dapat berupa orang perseorangan atau berpotensi perkumpulan, Sebanding dengan penangkapan yang tidak sah atau penangkapan yang tidak wajar, ahli maupun pemeriksa telah melakukan kesalahan dan kesalahan dalam menangkap orang lain (baik perseorangan atauperkumpulan) yang dianggap meragukan atau meragukan agen atau pemeriksa tersebut pada saat ini atau telah dilakukan suatu tindakan pelanggar hukum. Jadi individu atau perkumpulan tidak ada hubungannya dengan perbuatan salah.
2. Objek hukum yang dapat memicu penyelewengan salah tangkap dapat berupa:
•. Kesalahan pada obyek wilayah atau tempat terjadinya suatu kesalahan sedang atau
telah dilakukan penanganan tindak pidana, Dan adanya kasus salah tangkap yang
dikarenakan oleh kekeliruan oleh penyidik kepolisian dalam proses penyidikan
membuat dasar hukum yang dipakai menjadi kabur, tidak jelas, menyesatkan,
sehingga hal ini berakibat fatal seperti batalnya secara hukum.
•. Sementara itu, terlepas dari tempat atau wilayah kejadian yang menyebabkan terjadinya penangkapan yang tidak wajar, objek produk atau barang tersebut menjadi bukti yang mendasari telah terjadi suatu pelanggaran. hal-hal yang dapat dijadikan sebagai bukti telah atau telah terjadi suatu perbuatan salah tangkap itu mempunyai kedudukan dan dasar hukum yang penting. Kekeliruan penyidik kepolisian dalam (mengakui) barang-barang atau hal-hal yang dapat dijadikan alat bukti dapat
membuat pemeriksaan tersebut mengandung deformitas yang halal dan membuat suatu pemeriksaan atau proses pemeriksaan menjadi kurang baik, Oleh karena itu secara sah dapat membatal kan penangkapan.
Dengan anggapan ada kejadian atau penangkapan yang dilakukan oleh seorang ahli atau pemeriksa terhadap orang lain yang dikaitkan dengan adanya perbuatan melawan hukum yang menyebabkan suatu kesalahan, maka dalam proses pemulihan hak asasi manusianya, penyidik dan penyelidik kepolisian dapat menerapkan peraturan pidana khusus yang tercantum kedalam Pasal 333 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) KUHP yakni:
a. “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang,
atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun.
b. Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah dikenakan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
c. Jika mengakibatkan kematian, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
d. Pidana yang ditentukan dalam Pasal tersebut berlaku juga bagi orang yang dengan sengaja
memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum.”
Penulis:
Bayu Purnomo Saputra (Advokat & Mediator).
Sumber:
Berbagai Artikel Hukum dan Undang- Undang.

Bengkulu
Praktisi Hukum dan Pemerhati Keadilan Ekonomi Mikro Bengkulu Kirim Surat Terbuka

2,467 X dibaca hari ini
SURAT TERBUKA UNTUK KEMENTERIAN PERDAGANGAN, BADAN STANDARDISASI NASIONAL, APARAT PENEGAK HUKUM, DAN PARA PEMANGKU KEBIJAKAN DI REPUBLIK INI
Perihal: Jangan Jadikan Pedagang Mikro sebagai Tersangka, Lindungi Mereka dari Jeratan Hukum atas Ketidaktahuan
Kepada Yth:
1.Menteri Perdagangan Republik Indonesia
2.Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN)
3.Kepala Kepolisian Republik Indonesia
4.Kepala Kejaksaan Republik Indonesia
5.Ketua Ombudsman Republik Indonesia
6.Ketua Komisi VI dan IX DPR RI
7.Para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se-Indonesia
di Tempat
Dengan hormat,
Kami menulis surat ini sebagai bentuk keprihatinan, seruan keadilan, dan pembelaan hukum atas nasib para pedagang mikro di seluruh pelosok negeri, yang hari ini bisa saja terancam dijadikan tersangka dan dapat diduga menjadi pelaku tindak pidana hanya karena menjual produk yang tidak memiliki label SNI atau dianggap ilegal. Sementara sesungguhnya mereka hanyalah korban dari lemahnya sistem pengawasan distribusi dan keterbatasan pengetahuan.
Kami menolak kriminalisasi rakyat kecil yang menjual barang secara terbuka di lapak-lapak kaki lima, pasar rakyat, atau kios sederhana tanpa memiliki pengetahuan teknis soal legalitas barang, sistem standardisasi, atau keabsahan jalur distribusi. Mereka tidak memiliki akses informasi memadai tentang standar produk, dan tidak dibekali kemampuan mendeteksi apakah suatu barang telah tersertifikasi oleh BSN atau belum.
Apakah ketidaktahuan karena keterbatasan pendidikan dan ekonomi pantas dijatuhi pasal pidana? Apakah negara akan membiarkan rakyat kecil dihukum karena kegagalan sistem pengawasan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara?
Prinsip Hukum Harus Ditegakkan secara Adil dan Berperikemanusiaan Dalam hukum pidana modern, terdapat asas mens rea (niat jahat) sebagai dasar pemidanaan. Tidak cukup seseorang melakukan perbuatan, tetapi harus terbukti ada kesengajaan atau kelalaian berat. Pedagang kecil yang menjual barang non-SNI bukanlah penjahat, bukan importir, bukan penyelundup, dan bukan pelaku korporasi yang memperkaya diri. Mereka adalah rakyat yang mencari nafkah, yang menjual barang apa adanya, demi sesuap nasi, demi menyekolahkan anak ,menyambung hidup demi masa depan, dan mereka tanpa pengetahuan memadai mengenai regulasi teknis.
Kami mengingatkan negara untuk mengedepankan ultimum remedium, bahwa hukum pidana adalah jalan terakhir. Terlebih jika menyangkut sektor informal dan rakyat kecil yang bahkan tidak paham cara membaca label SNI, membedakan SNI yang asli dan palsu.
Faktanya Pedagang Kecil Bukan Sumber Barang Ilegal:
– Barang non-SNI masuk ke pasar karena gagalnya pengawasan impor dan distribusi oleh negara.
– Pedagang mikro bukan pelaku utama, melainkan titik akhir dari rantai pasokan.
– Negara tidak bisa gagal dalam pengawasan, lalu menghukum mereka yang paling lemah.
Kami Menuntut:
1. Hentikan kriminalisasi terhadap pedagang mikro yang menjual produk non-SNI karena ketidaktahuan.
2. Evaluasi sistem pengawasan peredaran barang di lapangan yang tidak menyentuh distributor besar, namun membidik rakyat kecil.
3. Buat kebijakan pembinaan dan edukasi nasional, bukan kebijakan represif yang menimbulkan ketakutan.
4. Libatkan organisasi pedagang pasar dan UMKM dalam sosialisasi hukum standardisasi barang.
5. Tegakkan keadilan progresif yang memihak pada yang lemah, bukan tunduk pada simbol hukum kaku yang mengabaikan realitas sosial.
Sebagai Penutup:
Kami mengajak seluruh aparatur negara untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat pemukul rakyat kecil, melainkan sebagai pelindung dan pengayom mereka. Keadilan bukan sekadar ketegasan pada teks hukum, tapi juga keberanian melihat akar masalah secara jernih. Jangan biarkan pedagang mikro menjadi tumbal dari sistem distribusi yang dikuasai pemodal besar dan pengawasan negara yang lemah.
Jangan biarkan hukum kehilangan kemanusiaannya.
Hormat Kami,
Bayu Purnomo Saputra
Praktisi Hukum dan Pemerhati Keadilan Ekonomi Mikro Bengkulu, Indonesia.
Bengkulu
BPS And Partners Laporkan Kapolres Muko-Muko ke Propam Polda

8,342 X dibaca hari ini
BENGKULU, Netralitasnews.com – Dalam langkah yang mengejutkan dan penuh keberanian, Kantor BPS And Partners telah mengajukan laporan resmi terhadap Kapolres Muko-Muko. Laporan ini disampaikan melalui rantai pengaduan yang tidak hanya mencapai Propam Polda Bengkulu, tingkat Kapolri dan Presiden Republik Indonesia, tetapi juga melibatkan Irwasda serta pihak-pihak terkait lainnya.
Bayu Purnomo Saputra, selaku Ketua TIM BPS And Partners, menegaskan bahwa pengaduan serta permohonan yang telah disampaikan belum mendapatkan respons atau tindakan secara prima. Menurutnya, langkah hukum ini merupakan upaya strategis untuk menutup celah dalam mekanisme pengawasan dan memastikan bahwa setiap laporan pengaduan mendapat penanganan yang serius serta tepat guna.
“Kami mendesak agar setiap laporan yang masuk segera ditindaklanjuti secara menyeluruh, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan pengawasan,” ujar Bayu Purnomo Saputra dengan tegas.
Untuk saat ini, substansi terkait kasus belum dapat dipublikasikan karena masih berada dalam tahap proses hukum. “Nanti, ketika sudah waktunya dan kasus telah naik ke persidangan, kami akan melakukan konfirmasi terbuka agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang transparan dan komprehensif,” tambahnya.
Langkah ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat integritas dan transparansi di sistem penegakan hukum Indonesia. Dengan melibatkan Irwasda dan instansi terkait, BPS And Partners membuka ruang evaluasi mendalam terhadap kinerja aparat, sehingga setiap keluhan masyarakat tidak hanya berakhir sebagai rangkaian administrasi, melainkan juga memicu perbaikan sistem yang nyata.
Hal ini akan terus kami pantau seiring perkembangan respons dari Propam Polda Bengkulu, Kapolri, Presiden RI, Irwasda, dan pihak-pihak terkait lainnya, guna memastikan bahwa aspirasi untuk keadilan dan transparansi mendapatkan perhatian yang layak serta membawa dampak positif bagi masa depan penegakan hukum di tanah air. (@Rls).
Bengkulu
Birokrasi dan Cinta, Dilema TNI yang Sulit Mendapatkan Izin Cerai

12,684 X dibaca hari ini
BENGKULU, Netralitasnews.com – Fenomena perceraian di kalangan anggota militer sering kali kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, Salah satunya adalah kesulitan mendapatkan izin dari atasan untuk perceraian. Adapun beberapa alasan yang mendasari hal ini antara lain :
▪︎ Regulasi dan Prosedur Militer, Anggota militer biasanya terikat pada prosedur yang ketat terkait dengan status perkawinan. Izin dari atasan sering diperlukan untuk memproses perceraian, yang bisa membuatnya lebih sulit.
▪︎ Stigma dan Kode Etik: Perceraian di kalangan militer dapat dianggap sebagai pelanggaran norma atau kode etik. Hal ini dapat menyebabkan tekanan sosial dan stigma bagi anggota militer yang ingin bercerai.
▪︎ Komitmen dan Loyalitas: Terdapat nilai-nilai kuat tentang komitmen dan loyalitas dalam dinas militer. Anggota militer mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan pernikahan demi reputasi atau untuk tidak mengecewakan rekan-rekan mereka.
▪︎ Dampak pada Karier: Perceraian dapat mempengaruhi karier seorang anggota militer, termasuk peluang promosi atau penugasan. Hal ini dapat membuat individu ragu untuk mengambil langkah perceraian.
▪︎ Kondisi Emosional dan Psikologis: Stres yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan militer dapat memperburuk kondisi hubungan, membuat perceraian terasa lebih rumit dan menakutkan.
Karena faktor-faktor tersebut, anggota militer sering kali menghadapi tantangan tambahan ketika mempertimbangkan perceraian.
Berbagai alasan diatas, juga anggota TNI mungkin sulit untuk meminta izin bercerai kepada atasan. Dikarenakan ada norma dan tradisi yang kuat dalam militer yang menekankan stabilitas keluarga dan komitmen, Perceraian ini dapat dianggap sebagai kegagalan dalam menjaga keharmonisan tersebut, dan anggota TNI juga ada tekanan dari hierarki sehingga rasa malu yang mungkin dirasakan anggota TNI, Mereka mungkin khawatir tentang dampak perceraian terhadap karier dan reputasi mereka di lingkungan militer. Serta proses perizinan mungkin rumit dan memerlukan alasan yang kuat. Hal ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang ingin bercerai tetapi tidak ingin melalui prosedur yang panjang dan rumit.
Akhirnya, peraturan internal TNI juga bisa menjadi faktor, di mana ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum izin bercerai diberikan. Semua faktor ini berkontribusi pada kesulitan yang dihadapi anggota TNI dalam meminta izin bercerai.
Dalam konteks TNI (Tentara Nasional Indonesia), pernikahan dan perceraian dapat terjadi seperti pada masyarakat umum, meskipun ada aturan dan norma tertentu yang mengatur kehidupan prajurit seperti yang dipaparkankan diatas, Perceraian dapat terjadi karena berbagai alasan termasuk masalah pribadi, kesesuaian, atau tekanan yang dihadapi akibat tugas militer. Namun, prosesnya mungkin lebih ketat dan diatur oleh peraturan internal TNI untuk menjaga disiplin dan stabilitas.
Namun TNI juga dapat mengajukan perceraian dengan alasan yang tepat untuk bisa dipertimbang kan, diantara nya adalah:
▪︎ Kesejahteraan Mental dan Emosional: Jika pernikahan menyebabkan stres berat atau masalah mental, perceraian bisa menjadi solusi untuk menjaga kesehatan mental.
▪︎ Tugas dan Tanggung Jawab: Tugas yang seringkali menuntut mobilitas tinggi dan risiko yang besar dapat mengganggu hubungan, sehingga perceraian mungkin dianggap perlu.
▪︎ Perbedaan yang Tak Teratasi: Ketika pasangan mengalami perbedaan pandangan atau tujuan hidup yang signifikan dan tidak dapat diselesaikan, perceraian bisa menjadi pilihan terakhir.
▪︎ Dukungan Keluarga: TNI seringkali memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga, dan jika pernikahan tidak mendukung itu, perceraian bisa menjadi langkah untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak.
▪︎ Kesehatan Fisik dan Keamanan: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau situasi berbahaya, perceraian dapat menjadi cara untuk melindungi diri dan anggota keluarga.
▪︎ Peraturan Internal dan Etika: TNI memiliki regulasi dan kode etik yang bisa mendukung keputusan perceraian dalam konteks yang tepat, termasuk untuk menjaga citra dan profesionalisme.
Setiap situasi tentunya unik dan memerlukan pertimbangan yang matang.
Penulis Adakah Praktisi Hukum Dari Kantor Advokat & Mediator BPS And Partners
WhatsApp : 0822-8267-8118
-
Bengkulu5 tahun ago
LSM PKN Laporkan Perbuatan Melawan Hukum, Dugaan Korupsi DD Dusun Sawah Ke Kejari
-
Empat Lawang4 tahun ago
Pjs. Kepala Desa Aur Gading diduga Tabrak Permendagri no 67 Tahun 2017
-
Empat Lawang4 tahun ago
Di duga Dana Rehab SMP Negeri 1 Pobar Jadi Ajang Korupsi, APH di Minta Bertindak
-
Empat Lawang5 tahun ago
Inspektorat Akan Turun Lapangan, Uji Petik Dugaan Pemotongan BLT DD Suka Dana
-
Empat Lawang4 minggu ago
HUT ke – 27 DPD PAN Empat Lawang dihadiri Ribuan Warga
-
Opini4 tahun ago
Masyarakat Harus Tau Soal Pengembalian atau Penarikan Kendaraan itu Masih Bermasalah apa tidak di Sistem BI Checking
-
Empat Lawang4 minggu ago
Atlet IPSI Empat Lawang Raih 5 Besar pada Pencak Silat Road TO PON Sum-Sel
-
Advertorial4 tahun ago
DEWAN PENDIDIKAN Empat Lawang Kunjungi SMPN 1 Ulu Musi, ini Penyebabnya