Connect with us

Bengkulu

Langkah Hukum Bila Harta Gono-Gini Dijual Sepihak Pasca Perceraian 

Published

on

 2,642 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Dalam hukum kita mengenal harta dalam pernikahan, ini diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 UU Perkawinan.

Harta benda dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, yang terhadap harta bersama tersebut, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan, harta yang diperoleh setelah pernikahan akan menjadi harta bersama.

Sehingga ketika terjadi suatu perceraian, maka harta yang didapat sejak perkawinan akan dibagi antara kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Dalam pasal 53 UU Perkawinan itu membagi harta dalam perkawinan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Harta Bawaan, yaitu harta yang diperoleh suami atau istri dari sebelum perkawinan.

Masing – masing mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta benda bawaannya.

2. Harta masing-masing suami atau istri yang diperoleh melalui warisan atau hadiah dalam perkawinan. Hak terhadap harta benda ini sepenuhnya ada pada masing-masing suami atau istri.

3. Harta Bersama atau Gono-gini, yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

Harta bawaan ini berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan isteri tidak menentukan lain.

Harta Gono- Gini ini pada prinsipnya, pembagian harta gono-gini haruslah dilakukan secara adil. Cara mendapatkan harta gono-gini adalah sebagai berikut:

1. Pembagian harta gono-gini dapat diajukan bersamaan dengan saat mengajukan gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh selama perkawinan dalam “posita” (Alasan mengajukan gugatan). Permintaan pembagian harta disebutkan dalam petitum (gugatan). karena Gugatan ini memiliki dasar hukum yaitu Pasal 86 ayat (1) UU Peradilan Agama yang menyebutkan :

” gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan percerain memperoleh kekuatan hukum tetap.”

2. Pembagian harta gono-gini diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan atas harta bersama.
Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI):

“Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”

Dari uraian diatas sudah menjelaskan tentang pengaturan terkait tentang harta-harta, sehingga disini apabila ada muncul pertanyaan, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan hukum atas harta gono- gini yang mana harta tersebut dijual dengan cara sepihak tanpa ada persetujuan pemilik harta bersama tersebut atau harta gono-gini tidak mau dibagi oleh salah satu pihak ? Maka disini yang harus dilakukan adalah melakukan upaya hukum baik pidana maupun perdata, Karena akibat hukum atas penjualan sepihak dapat dilaporkan kepihak yang berwajib dengan tuduhan melakukan tindakan penggelapan sebagaimana diatur dalam KUHP.

Pasal 372 KUHP :
”Barang siapa yang sengaja memiliki dengan cara melawan hak suatu barang yang secara keseluruhan atau sebagian milik orang lain dan barang tersebut ada dalam tangannya bukan karena tindak kejahatan maka akan dihukum dengan tindakan penggelapan yang hukumannya penjara maksimal 4 tahun.”

Selain langkah hukum pidana, maka dapat diupayakan juga dengan langkah hukum perdata, yakni dapat menggugat kepengadilan untuk melakukan pembatalan terhadap tindakan pengalihan/ penjualan/ menggadaian /penjaminan harta bersama (gono-gini) tersebut, serta menggugat harta gono-goni atas harta bersama selama masa perkawinan dengan bukti- bukti yang ada soal kepemilikan harta bersama tersebut.

Adapaun dalam Putusan MA RI No. 701 K/PDT/1997 Tanggal 24 Maret 1999 :

“Jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak isteri atau suami, harta bersama berupa tanah yang dijual suami tanpa persetujuan isteri adalah tidak sah dan batal demi hukum. Sertifikat tanah yang dibuat atas dasar jual beli yang tidak sah tidak mempunyai kekuatan hukum”

Putusan MARI No. 3005 K/PDT/1998 tanggal 14 Januari 2008 :
”Tanah hak milik yang merupakan harta bersama, tidak dapat dijadikan jaminan atas perjanjian utang piutang tanpa persetujuan salah satu pihak, baik itu pihak istri maupun suami, sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat (1) uu no. 1 tahun 1974. dengan demikian, perjanjian yang melanggar ketentuan tersebut dapat dibatalkan demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian (sebab yang halal).”

Demikian upaya hakum yang dapat dilakukan apabila ada terjadi kasus yang mengakibatkan harta gono-gini yang dijual sepihak tanpa ada persetujuan.

Penulis Adalah Advokat BPS Di-Law Firm Ruang Hukum Lintang Keadilan Hp : 0822-8267-8118. 

Advertisement

Bengkulu

Praktisi Hukum dan Pemerhati Keadilan Ekonomi Mikro Bengkulu Kirim Surat Terbuka

Published

on

 2,472 X dibaca hari ini

SURAT TERBUKA UNTUK KEMENTERIAN PERDAGANGAN, BADAN STANDARDISASI NASIONAL, APARAT PENEGAK HUKUM, DAN PARA PEMANGKU KEBIJAKAN DI REPUBLIK INI

Perihal: Jangan Jadikan Pedagang Mikro sebagai Tersangka, Lindungi Mereka dari Jeratan Hukum atas Ketidaktahuan

Kepada Yth:

1.Menteri Perdagangan Republik Indonesia

2.Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN)

3.Kepala Kepolisian Republik Indonesia

4.Kepala Kejaksaan Republik Indonesia

5.Ketua Ombudsman Republik Indonesia

6.Ketua Komisi VI dan IX DPR RI

7.Para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se-Indonesia

di Tempat

Dengan hormat,
Kami menulis surat ini sebagai bentuk keprihatinan, seruan keadilan, dan pembelaan hukum atas nasib para pedagang mikro di seluruh pelosok negeri, yang hari ini bisa saja terancam dijadikan tersangka dan dapat diduga menjadi pelaku tindak pidana hanya karena menjual produk yang tidak memiliki label SNI atau dianggap ilegal. Sementara sesungguhnya mereka hanyalah korban dari lemahnya sistem pengawasan distribusi dan keterbatasan pengetahuan.

Kami menolak kriminalisasi rakyat kecil yang menjual barang secara terbuka di lapak-lapak kaki lima, pasar rakyat, atau kios sederhana tanpa memiliki pengetahuan teknis soal legalitas barang, sistem standardisasi, atau keabsahan jalur distribusi. Mereka tidak memiliki akses informasi memadai tentang standar produk, dan tidak dibekali kemampuan mendeteksi apakah suatu barang telah tersertifikasi oleh BSN atau belum.

Apakah ketidaktahuan karena keterbatasan pendidikan dan ekonomi pantas dijatuhi pasal pidana? Apakah negara akan membiarkan rakyat kecil dihukum karena kegagalan sistem pengawasan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara?

Prinsip Hukum Harus Ditegakkan secara Adil dan Berperikemanusiaan Dalam hukum pidana modern, terdapat asas mens rea (niat jahat) sebagai dasar pemidanaan. Tidak cukup seseorang melakukan perbuatan, tetapi harus terbukti ada kesengajaan atau kelalaian berat. Pedagang kecil yang menjual barang non-SNI bukanlah penjahat, bukan importir, bukan penyelundup, dan bukan pelaku korporasi yang memperkaya diri. Mereka adalah rakyat yang mencari nafkah, yang menjual barang apa adanya, demi sesuap nasi, demi menyekolahkan anak ,menyambung hidup demi masa depan, dan mereka tanpa pengetahuan memadai mengenai regulasi teknis.

Kami mengingatkan negara untuk mengedepankan ultimum remedium, bahwa hukum pidana adalah jalan terakhir. Terlebih jika menyangkut sektor informal dan rakyat kecil yang bahkan tidak paham cara membaca label SNI, membedakan SNI yang asli dan palsu.

Faktanya Pedagang Kecil Bukan Sumber Barang Ilegal:
– Barang non-SNI masuk ke pasar karena gagalnya pengawasan impor dan distribusi oleh negara.

– Pedagang mikro bukan pelaku utama, melainkan titik akhir dari rantai pasokan.

– Negara tidak bisa gagal dalam pengawasan, lalu menghukum mereka yang paling lemah.

Kami Menuntut:
1. Hentikan kriminalisasi terhadap pedagang mikro yang menjual produk non-SNI karena ketidaktahuan.

2. Evaluasi sistem pengawasan peredaran barang di lapangan yang tidak menyentuh distributor besar, namun membidik rakyat kecil.

3. Buat kebijakan pembinaan dan edukasi nasional, bukan kebijakan represif yang menimbulkan ketakutan.

4. Libatkan organisasi pedagang pasar dan UMKM dalam sosialisasi hukum standardisasi barang.

5. Tegakkan keadilan progresif yang memihak pada yang lemah, bukan tunduk pada simbol hukum kaku yang mengabaikan realitas sosial.

Sebagai Penutup:
Kami mengajak seluruh aparatur negara untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat pemukul rakyat kecil, melainkan sebagai pelindung dan pengayom mereka. Keadilan bukan sekadar ketegasan pada teks hukum, tapi juga keberanian melihat akar masalah secara jernih. Jangan biarkan pedagang mikro menjadi tumbal dari sistem distribusi yang dikuasai pemodal besar dan pengawasan negara yang lemah.
Jangan biarkan hukum kehilangan kemanusiaannya.

Hormat Kami,
Bayu Purnomo Saputra
Praktisi Hukum dan Pemerhati Keadilan Ekonomi Mikro Bengkulu, Indonesia. 

Continue Reading

Bengkulu

BPS And Partners Laporkan Kapolres Muko-Muko ke Propam Polda 

Published

on

 8,347 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Dalam langkah yang mengejutkan dan penuh keberanian, Kantor BPS And Partners telah mengajukan laporan resmi terhadap Kapolres Muko-Muko. Laporan ini disampaikan melalui rantai pengaduan yang tidak hanya mencapai Propam Polda Bengkulu, tingkat Kapolri dan Presiden Republik Indonesia, tetapi juga melibatkan Irwasda serta pihak-pihak terkait lainnya.

Bayu Purnomo Saputra, selaku Ketua TIM BPS And Partners, menegaskan bahwa pengaduan serta permohonan yang telah disampaikan belum mendapatkan respons atau tindakan secara prima. Menurutnya, langkah hukum ini merupakan upaya strategis untuk menutup celah dalam mekanisme pengawasan dan memastikan bahwa setiap laporan pengaduan mendapat penanganan yang serius serta tepat guna.

“Kami mendesak agar setiap laporan yang masuk segera ditindaklanjuti secara menyeluruh, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan pengawasan,” ujar Bayu Purnomo Saputra dengan tegas.

Untuk saat ini, substansi terkait kasus belum dapat dipublikasikan karena masih berada dalam tahap proses hukum. “Nanti, ketika sudah waktunya dan kasus telah naik ke persidangan, kami akan melakukan konfirmasi terbuka agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang transparan dan komprehensif,” tambahnya.

Langkah ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat integritas dan transparansi di sistem penegakan hukum Indonesia. Dengan melibatkan Irwasda dan instansi terkait, BPS And Partners membuka ruang evaluasi mendalam terhadap kinerja aparat, sehingga setiap keluhan masyarakat tidak hanya berakhir sebagai rangkaian administrasi, melainkan juga memicu perbaikan sistem yang nyata.

Hal ini akan terus kami pantau seiring perkembangan respons dari Propam Polda Bengkulu, Kapolri, Presiden RI, Irwasda, dan pihak-pihak terkait lainnya, guna memastikan bahwa aspirasi untuk keadilan dan transparansi mendapatkan perhatian yang layak serta membawa dampak positif bagi masa depan penegakan hukum di tanah air. (@Rls).

Continue Reading

Bengkulu

Birokrasi dan Cinta, Dilema TNI yang Sulit Mendapatkan Izin Cerai

Published

on

 12,692 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Fenomena perceraian di kalangan anggota militer sering kali kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, Salah satunya adalah kesulitan mendapatkan izin dari atasan untuk perceraian. Adapun beberapa alasan yang mendasari hal ini antara lain :

▪︎ Regulasi dan Prosedur Militer, Anggota militer biasanya terikat pada prosedur yang ketat terkait dengan status perkawinan. Izin dari atasan sering diperlukan untuk memproses perceraian, yang bisa membuatnya lebih sulit.

▪︎ Stigma dan Kode Etik: Perceraian di kalangan militer dapat dianggap sebagai pelanggaran norma atau kode etik. Hal ini dapat menyebabkan tekanan sosial dan stigma bagi anggota militer yang ingin bercerai.

▪︎ Komitmen dan Loyalitas: Terdapat nilai-nilai kuat tentang komitmen dan loyalitas dalam dinas militer. Anggota militer mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan pernikahan demi reputasi atau untuk tidak mengecewakan rekan-rekan mereka.

▪︎ Dampak pada Karier: Perceraian dapat mempengaruhi karier seorang anggota militer, termasuk peluang promosi atau penugasan. Hal ini dapat membuat individu ragu untuk mengambil langkah perceraian.

▪︎ Kondisi Emosional dan Psikologis: Stres yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan militer dapat memperburuk kondisi hubungan, membuat perceraian terasa lebih rumit dan menakutkan.

Karena faktor-faktor tersebut, anggota militer sering kali menghadapi tantangan tambahan ketika mempertimbangkan perceraian.

Berbagai alasan diatas, juga anggota TNI mungkin sulit untuk meminta izin bercerai kepada atasan. Dikarenakan ada norma dan tradisi yang kuat dalam militer yang menekankan stabilitas keluarga dan komitmen, Perceraian ini dapat dianggap sebagai kegagalan dalam menjaga keharmonisan tersebut, dan anggota TNI juga ada tekanan dari hierarki sehingga rasa malu yang mungkin dirasakan anggota TNI, Mereka mungkin khawatir tentang dampak perceraian terhadap karier dan reputasi mereka di lingkungan militer. Serta proses perizinan mungkin rumit dan memerlukan alasan yang kuat. Hal ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang ingin bercerai tetapi tidak ingin melalui prosedur yang panjang dan rumit.

Akhirnya, peraturan internal TNI juga bisa menjadi faktor, di mana ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum izin bercerai diberikan. Semua faktor ini berkontribusi pada kesulitan yang dihadapi anggota TNI dalam meminta izin bercerai.

Dalam konteks TNI (Tentara Nasional Indonesia), pernikahan dan perceraian dapat terjadi seperti pada masyarakat umum, meskipun ada aturan dan norma tertentu yang mengatur kehidupan prajurit seperti yang dipaparkankan diatas, Perceraian dapat terjadi karena berbagai alasan termasuk masalah pribadi, kesesuaian, atau tekanan yang dihadapi akibat tugas militer. Namun, prosesnya mungkin lebih ketat dan diatur oleh peraturan internal TNI untuk menjaga disiplin dan stabilitas.

Namun TNI juga dapat mengajukan perceraian dengan alasan yang tepat untuk bisa dipertimbang kan,  diantara  nya  adalah:
▪︎ Kesejahteraan Mental dan Emosional: Jika pernikahan menyebabkan stres berat atau masalah mental, perceraian bisa menjadi solusi untuk menjaga kesehatan mental.

▪︎ Tugas dan Tanggung Jawab: Tugas yang seringkali menuntut mobilitas tinggi dan risiko yang besar dapat mengganggu hubungan, sehingga perceraian mungkin dianggap perlu.

▪︎ Perbedaan yang Tak Teratasi: Ketika pasangan mengalami perbedaan pandangan atau tujuan hidup yang signifikan dan tidak dapat diselesaikan, perceraian bisa menjadi pilihan terakhir.

▪︎ Dukungan Keluarga: TNI seringkali memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga, dan jika pernikahan tidak mendukung itu, perceraian bisa menjadi langkah untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak.

▪︎ Kesehatan Fisik dan Keamanan: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau situasi berbahaya, perceraian dapat menjadi cara untuk melindungi diri dan anggota keluarga.

▪︎ Peraturan Internal dan Etika: TNI memiliki regulasi dan kode etik yang bisa mendukung keputusan perceraian dalam konteks yang tepat, termasuk untuk menjaga citra dan profesionalisme.

Setiap situasi tentunya unik dan memerlukan pertimbangan yang matang.

Penulis Adakah Praktisi Hukum Dari Kantor Advokat & Mediator BPS And Partners
WhatsApp : 0822-8267-8118

Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!