Connect with us

Bengkulu

PPKM Mikro Diperpanjang, Apakah Menjadi Solusi ???

Published

on

 6,514 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com Pemerintah Kota Bengkulu memutuskan memperpanjang pengetatan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Mikro sampai 25 Juli mendatang.

penerapan ini dilakukan berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2021 Tanggal 20 Juli 2021 Tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan Posko Penanganan Corona Virus Disease (covid-19) Di Tingkat Desa Dan Kelurahan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease (covid-19).

Menyikapi kebijakan ini Presiden BEM Universitas Prof.Dr. Hazairin, S.H Bengkulu menegaskan bahwa PPKM bukan menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan pandemi (covid-19).

Karena kebijakan ini pasti akan mengakibatkan perekonomian “yang menjadi permasalahannya adalah mereka yang hari ini tidak bekerja maka tidak bisa makan, sehingga dengan terpaksa harus keluar rumah untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup, contohnya para pedagang kaki lima, ojek online, buruh harian, usaha kedai kopi dan usaha kecil lainnya.

Apalagi yang memiliki cicilan di bank, tagihan listrik, sewa rumah, biaya sekolah anak dan lain sebagainya.

Mungkin bagi Pejabat Negara atau ASN yang menerima gaji dan tunjangan setiap bulan tetap enjoy dengan aturan PPKM, karena walaupun hanya berdiam diri di rumah, gaji dan tunjangan tetap lancar dan utuh.” Ungkap Robi Nababan Presiden BEM Universitas Prof.Dr. Hazairin, S.H Bengkulu.

“Setiap orang akan patuh untuk tetap berdiam diri di rumah jika Pemerintah juga komitmen untuk melaksanakan perintah Pasal 55 (1) UU No 6 Thn 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, bahwa “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”. Ungkapnya.

Robi Nababan Mengungkapkan yang dilakukan Pemerintah adalah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang hanya berbeda istilah, tapi substansinya sama dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, yakni membatasi mobilitas masyarakat.

Penggunaan istilah PPKM ini diduga sebagai upaya untuk menghindari Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar orang maupun makanan hewan ternak.

“Hal-hal inilah yang harus diperhatikan sehingga kebijakan dan aturan yang dibuat tidak diskriminatif contohnya dengan memudahkan masuknya WNA dari luar. namun mempersulit Warga Negara sendiri.

Jangan sampai tingginya angka kematian di Indonesia bukan karena Virus Corona, tapi karena Peraturan. Kami berharap Pemerintah Bengkulu agar segera mengevaluasi kembali kebijakan mengenai PPKM ini.” Tegasnya. (Release).

Bengkulu

Praktisi Hukum dan Pemerhati Keadilan Ekonomi Mikro Bengkulu Kirim Surat Terbuka

Published

on

 2,439 X dibaca hari ini

SURAT TERBUKA UNTUK KEMENTERIAN PERDAGANGAN, BADAN STANDARDISASI NASIONAL, APARAT PENEGAK HUKUM, DAN PARA PEMANGKU KEBIJAKAN DI REPUBLIK INI

Perihal: Jangan Jadikan Pedagang Mikro sebagai Tersangka, Lindungi Mereka dari Jeratan Hukum atas Ketidaktahuan

Kepada Yth:

1.Menteri Perdagangan Republik Indonesia

2.Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN)

3.Kepala Kepolisian Republik Indonesia

4.Kepala Kejaksaan Republik Indonesia

5.Ketua Ombudsman Republik Indonesia

6.Ketua Komisi VI dan IX DPR RI

7.Para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se-Indonesia

di Tempat

Dengan hormat,
Kami menulis surat ini sebagai bentuk keprihatinan, seruan keadilan, dan pembelaan hukum atas nasib para pedagang mikro di seluruh pelosok negeri, yang hari ini bisa saja terancam dijadikan tersangka dan dapat diduga menjadi pelaku tindak pidana hanya karena menjual produk yang tidak memiliki label SNI atau dianggap ilegal. Sementara sesungguhnya mereka hanyalah korban dari lemahnya sistem pengawasan distribusi dan keterbatasan pengetahuan.

Kami menolak kriminalisasi rakyat kecil yang menjual barang secara terbuka di lapak-lapak kaki lima, pasar rakyat, atau kios sederhana tanpa memiliki pengetahuan teknis soal legalitas barang, sistem standardisasi, atau keabsahan jalur distribusi. Mereka tidak memiliki akses informasi memadai tentang standar produk, dan tidak dibekali kemampuan mendeteksi apakah suatu barang telah tersertifikasi oleh BSN atau belum.

Apakah ketidaktahuan karena keterbatasan pendidikan dan ekonomi pantas dijatuhi pasal pidana? Apakah negara akan membiarkan rakyat kecil dihukum karena kegagalan sistem pengawasan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara?

Prinsip Hukum Harus Ditegakkan secara Adil dan Berperikemanusiaan Dalam hukum pidana modern, terdapat asas mens rea (niat jahat) sebagai dasar pemidanaan. Tidak cukup seseorang melakukan perbuatan, tetapi harus terbukti ada kesengajaan atau kelalaian berat. Pedagang kecil yang menjual barang non-SNI bukanlah penjahat, bukan importir, bukan penyelundup, dan bukan pelaku korporasi yang memperkaya diri. Mereka adalah rakyat yang mencari nafkah, yang menjual barang apa adanya, demi sesuap nasi, demi menyekolahkan anak ,menyambung hidup demi masa depan, dan mereka tanpa pengetahuan memadai mengenai regulasi teknis.

Kami mengingatkan negara untuk mengedepankan ultimum remedium, bahwa hukum pidana adalah jalan terakhir. Terlebih jika menyangkut sektor informal dan rakyat kecil yang bahkan tidak paham cara membaca label SNI, membedakan SNI yang asli dan palsu.

Faktanya Pedagang Kecil Bukan Sumber Barang Ilegal:
– Barang non-SNI masuk ke pasar karena gagalnya pengawasan impor dan distribusi oleh negara.

– Pedagang mikro bukan pelaku utama, melainkan titik akhir dari rantai pasokan.

– Negara tidak bisa gagal dalam pengawasan, lalu menghukum mereka yang paling lemah.

Kami Menuntut:
1. Hentikan kriminalisasi terhadap pedagang mikro yang menjual produk non-SNI karena ketidaktahuan.

2. Evaluasi sistem pengawasan peredaran barang di lapangan yang tidak menyentuh distributor besar, namun membidik rakyat kecil.

3. Buat kebijakan pembinaan dan edukasi nasional, bukan kebijakan represif yang menimbulkan ketakutan.

4. Libatkan organisasi pedagang pasar dan UMKM dalam sosialisasi hukum standardisasi barang.

5. Tegakkan keadilan progresif yang memihak pada yang lemah, bukan tunduk pada simbol hukum kaku yang mengabaikan realitas sosial.

Sebagai Penutup:
Kami mengajak seluruh aparatur negara untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat pemukul rakyat kecil, melainkan sebagai pelindung dan pengayom mereka. Keadilan bukan sekadar ketegasan pada teks hukum, tapi juga keberanian melihat akar masalah secara jernih. Jangan biarkan pedagang mikro menjadi tumbal dari sistem distribusi yang dikuasai pemodal besar dan pengawasan negara yang lemah.
Jangan biarkan hukum kehilangan kemanusiaannya.

Hormat Kami,
Bayu Purnomo Saputra
Praktisi Hukum dan Pemerhati Keadilan Ekonomi Mikro Bengkulu, Indonesia. 

Continue Reading

Bengkulu

BPS And Partners Laporkan Kapolres Muko-Muko ke Propam Polda 

Published

on

 8,318 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Dalam langkah yang mengejutkan dan penuh keberanian, Kantor BPS And Partners telah mengajukan laporan resmi terhadap Kapolres Muko-Muko. Laporan ini disampaikan melalui rantai pengaduan yang tidak hanya mencapai Propam Polda Bengkulu, tingkat Kapolri dan Presiden Republik Indonesia, tetapi juga melibatkan Irwasda serta pihak-pihak terkait lainnya.

Bayu Purnomo Saputra, selaku Ketua TIM BPS And Partners, menegaskan bahwa pengaduan serta permohonan yang telah disampaikan belum mendapatkan respons atau tindakan secara prima. Menurutnya, langkah hukum ini merupakan upaya strategis untuk menutup celah dalam mekanisme pengawasan dan memastikan bahwa setiap laporan pengaduan mendapat penanganan yang serius serta tepat guna.

“Kami mendesak agar setiap laporan yang masuk segera ditindaklanjuti secara menyeluruh, demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum dan pengawasan,” ujar Bayu Purnomo Saputra dengan tegas.

Untuk saat ini, substansi terkait kasus belum dapat dipublikasikan karena masih berada dalam tahap proses hukum. “Nanti, ketika sudah waktunya dan kasus telah naik ke persidangan, kami akan melakukan konfirmasi terbuka agar masyarakat mendapatkan penjelasan yang transparan dan komprehensif,” tambahnya.

Langkah ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat integritas dan transparansi di sistem penegakan hukum Indonesia. Dengan melibatkan Irwasda dan instansi terkait, BPS And Partners membuka ruang evaluasi mendalam terhadap kinerja aparat, sehingga setiap keluhan masyarakat tidak hanya berakhir sebagai rangkaian administrasi, melainkan juga memicu perbaikan sistem yang nyata.

Hal ini akan terus kami pantau seiring perkembangan respons dari Propam Polda Bengkulu, Kapolri, Presiden RI, Irwasda, dan pihak-pihak terkait lainnya, guna memastikan bahwa aspirasi untuk keadilan dan transparansi mendapatkan perhatian yang layak serta membawa dampak positif bagi masa depan penegakan hukum di tanah air. (@Rls).

Continue Reading

Bengkulu

Birokrasi dan Cinta, Dilema TNI yang Sulit Mendapatkan Izin Cerai

Published

on

 12,656 X dibaca hari ini

BENGKULU, Netralitasnews.com – Fenomena perceraian di kalangan anggota militer sering kali kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, Salah satunya adalah kesulitan mendapatkan izin dari atasan untuk perceraian. Adapun beberapa alasan yang mendasari hal ini antara lain :

▪︎ Regulasi dan Prosedur Militer, Anggota militer biasanya terikat pada prosedur yang ketat terkait dengan status perkawinan. Izin dari atasan sering diperlukan untuk memproses perceraian, yang bisa membuatnya lebih sulit.

▪︎ Stigma dan Kode Etik: Perceraian di kalangan militer dapat dianggap sebagai pelanggaran norma atau kode etik. Hal ini dapat menyebabkan tekanan sosial dan stigma bagi anggota militer yang ingin bercerai.

▪︎ Komitmen dan Loyalitas: Terdapat nilai-nilai kuat tentang komitmen dan loyalitas dalam dinas militer. Anggota militer mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan pernikahan demi reputasi atau untuk tidak mengecewakan rekan-rekan mereka.

▪︎ Dampak pada Karier: Perceraian dapat mempengaruhi karier seorang anggota militer, termasuk peluang promosi atau penugasan. Hal ini dapat membuat individu ragu untuk mengambil langkah perceraian.

▪︎ Kondisi Emosional dan Psikologis: Stres yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan militer dapat memperburuk kondisi hubungan, membuat perceraian terasa lebih rumit dan menakutkan.

Karena faktor-faktor tersebut, anggota militer sering kali menghadapi tantangan tambahan ketika mempertimbangkan perceraian.

Berbagai alasan diatas, juga anggota TNI mungkin sulit untuk meminta izin bercerai kepada atasan. Dikarenakan ada norma dan tradisi yang kuat dalam militer yang menekankan stabilitas keluarga dan komitmen, Perceraian ini dapat dianggap sebagai kegagalan dalam menjaga keharmonisan tersebut, dan anggota TNI juga ada tekanan dari hierarki sehingga rasa malu yang mungkin dirasakan anggota TNI, Mereka mungkin khawatir tentang dampak perceraian terhadap karier dan reputasi mereka di lingkungan militer. Serta proses perizinan mungkin rumit dan memerlukan alasan yang kuat. Hal ini bisa menjadi penghalang bagi mereka yang ingin bercerai tetapi tidak ingin melalui prosedur yang panjang dan rumit.

Akhirnya, peraturan internal TNI juga bisa menjadi faktor, di mana ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi sebelum izin bercerai diberikan. Semua faktor ini berkontribusi pada kesulitan yang dihadapi anggota TNI dalam meminta izin bercerai.

Dalam konteks TNI (Tentara Nasional Indonesia), pernikahan dan perceraian dapat terjadi seperti pada masyarakat umum, meskipun ada aturan dan norma tertentu yang mengatur kehidupan prajurit seperti yang dipaparkankan diatas, Perceraian dapat terjadi karena berbagai alasan termasuk masalah pribadi, kesesuaian, atau tekanan yang dihadapi akibat tugas militer. Namun, prosesnya mungkin lebih ketat dan diatur oleh peraturan internal TNI untuk menjaga disiplin dan stabilitas.

Namun TNI juga dapat mengajukan perceraian dengan alasan yang tepat untuk bisa dipertimbang kan,  diantara  nya  adalah:
▪︎ Kesejahteraan Mental dan Emosional: Jika pernikahan menyebabkan stres berat atau masalah mental, perceraian bisa menjadi solusi untuk menjaga kesehatan mental.

▪︎ Tugas dan Tanggung Jawab: Tugas yang seringkali menuntut mobilitas tinggi dan risiko yang besar dapat mengganggu hubungan, sehingga perceraian mungkin dianggap perlu.

▪︎ Perbedaan yang Tak Teratasi: Ketika pasangan mengalami perbedaan pandangan atau tujuan hidup yang signifikan dan tidak dapat diselesaikan, perceraian bisa menjadi pilihan terakhir.

▪︎ Dukungan Keluarga: TNI seringkali memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarga, dan jika pernikahan tidak mendukung itu, perceraian bisa menjadi langkah untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anak.

▪︎ Kesehatan Fisik dan Keamanan: Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau situasi berbahaya, perceraian dapat menjadi cara untuk melindungi diri dan anggota keluarga.

▪︎ Peraturan Internal dan Etika: TNI memiliki regulasi dan kode etik yang bisa mendukung keputusan perceraian dalam konteks yang tepat, termasuk untuk menjaga citra dan profesionalisme.

Setiap situasi tentunya unik dan memerlukan pertimbangan yang matang.

Penulis Adakah Praktisi Hukum Dari Kantor Advokat & Mediator BPS And Partners
WhatsApp : 0822-8267-8118

Continue Reading

Populer

error: Content is protected !!